Honai
Honai
sejak lama dikenal sebagai rumah tradisional suku Dani di Kabupaten Jayawijaya
dan suku-suku asli yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua. Hingga kini,
masyarakat di wilayah ini masih membangun
honai secara turun temurun sesuai tradisi budaya dan kondisi setempat. Istilah
honai berasal dari dua kata, yakni “Hun” yang berarti pria dewasa dan “Ai” yang
berarti rumah. Dari klasifikasinya, terdapat dua jenis honai, yakni honai bagi
kaum laki-laki dan perempuan.
Secara umum honai merupakan rumah adat tempat
bermusyawarah untuk kepentingan mengadakan pesta adat dan perang suku. Honai
bagi kaum perempuan disebut “Ebeai,” yang terdiri dari dua kata,
yakni “Ebe” atau tubuh dalam pengertian
kehadiran tubuh dan “Ai” yang berarti rumah. Nama honai laki-laki dalam
bahasa Lani disebut “ap inakunu” dan honai perempuan disebut “kumi inawi.” Orang Lani mempunyai
tiga honai, yakni honai bagi kaum laki-laki, honai perempuan dan honai yang
dikhususkan untuk memberi makan atau memelihara ternak seperti babi.Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan
miring bahwa masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama
ternak babi di dalam honai mereka. Sebab ada honai yang dibangun khusus untuk
memelihara babi. Dari modelnya, honai sering dibangun
berbentuk bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah
(dome) di tutup dengan alang-alang. Garis tengah (diameter) mencapai 5 sampai 7
meter, tergantung tujuan pemanfaatannya. Honai bagi kaum perempuan, bentuknya
lebih pendek.Pada ruang bawah honai laki-laki dewasa
biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan, diskusi, berdemokrasi,berdialog
dan berdebat mengenai perang, kehidupan ekonomi, keamanan daerah, membagi
pengalaman dan memikirkan tentang kesinambungan hidup. Selain itu, digunakan
pula sebagai tempat penyimpan harta benda, termasuk menyimpan mumi (mayat yang
diawetkan) bagi suku Dani, dan fungsi-fungsi lain sesuai kepentingan
pemiliknya. Sedangkan pada ruang atas sering digunakan sebagai kamar tidur.Honai laki-laki biasanya tidak bisa dimasuki
(ditempati) oleh kaum perempuan atau orang-orang tertentu. Sebab disinilah
tempat berlangsung inisiasi dan pendidikan bagi kaum laki-laki muda yang akan
beranjak dewasa. Sedangkan honai bagi kaum perempuan biasanya dikhususkan bagi
ibu-ibu, anak-anak perempuan dan anak-anak lelaki yang masih kecil. Seperti
honai pria, pada honai perempuan juga akan berlangsung proses pendidikan secara
terus-menerus bagi anak-anak perempuan.Disinilah tempat para ibu mengajarkan hal-hal
yang akan dihadapi anak-anak perempuan setelah tiba saatnya untuk menikah atau
kawin. Keberadaan honai perempuan bagi anak-anak lelaki yang masih kecil hanya
bersifat umum, sehingga setelah mulai beranjak remaja mereka akan berpindah ke
honai laki-laki. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan honai biasanya
berupa rotan, tali hutan, alang-alang, belahan kayu atau papan yang digunakan
sebagai dinding dan kayu khusus untuk tiang penyangga. Tali hutan khusus dan
rutan akan digunakan sebagai pengikat.Tokoh gereja yang juga intelektual Papua asal
pegunungan tengah, Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dalam bukunya “Kita Meminum Air
Dari Sumur Kita Sendiri,” menjelaskan bahwa honai biasanya tidak dibangun pada
sembarang tempat atau di tempat terlarang. Misalnya di daerah rawan longsor
(bencana), daerah berkebun, kawasan hutan lindung atau tempat lain yang
dilarang untuk membangun rumah. Menurutnya, nenek moyang masyarakat di wilayah
pegunungan tengah Papua biasanya tidak ceroboh dalam membangun honai.Karena yang diperhatikan adalah soal aspek
keamanan dan resiko yang bakal dihadapi. Dalam membuat honai, posisi pintu
biasanya berada pada arah terbit dan terbenamnya matahari. Pintu itu juga
berfungsi demi keamanan penghuninya jika ada serangan tiba-tiba dari musuh atau
kebakaran. Boleh dibilang bahwa sejak awal honai telah menjadi tempat tinggal
tetap bagi nenek moyang suku Dani. Ini kemudian bisa menghambat perpindahan
mereka dari satu wilayah ke wilayah lain.HomeseHonai Menuju Sehat, atau yang dikenal dengan
istilah Homese, merupakan hasil inovasi
dan terobosan dalam seni arsitektur modern. Konsep Homese ini tidak
meninggalkan bentuk, manfaat dan nilai-nilai filosofis honai secara alami.
Pengembangannya hanya dengan meningkatkan teknik konstruksi
masyarakat lokal. Dengan alasan bahan-bahan baku pembangunan mudah diperoleh di
lingkungan sekitar, maka yang diperlukan hanya memberi nilai tambah secara
inovatif.Tata ruang Homese juga memperhatikan
kebiasaan aktivitas masyarakat lokal di dalam honai. Namun lebih dari pada itu,
pengembangan Homese dimaksudkan agar tercipta perubahan menuju konsep rumah
sehat bagi masyarakat asli di wilayah pegunungan tengah Papua. Disamping ada
upaya menuju revitalisasi terhadap kawasan-kawasan yang dianggap bernilai
historis. Lewat teknik rekayasa sipil, Homese di desain sedemikian rupa
sehingga asap bisa keluar melalui cerobong.Dalam rumah honai tradisional, umumnya tidak
memiliki cerobong (saluran) pembuangan asap hasil pembakaran. Inilah masalah
terbesar penyebab gangguan kesehatan pernafasan pada masyarakat lokal yang kini
masih mempertahankan honai sebagai rumah tinggal. Karena itu pada tahun
anggaran 2010 lalu, Pemda Kabupaten Jayawijaya telah membangun puluhan unit
rumah Homese di Kampung Waisapu, Wamena Kota. Model honai serupa juga
telah dibangun di Kampung Pasema Kabupaten Yahukimo.Pembangunan tersebut berlangsung atas
kerjasama Pemda setempat dengan Satker Penataan Bangunan dan Lingkungan Dinas
PU Provinsi Papua bersama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman
Departemen Pekerjaan Umum RI. Dari sisi teknis desain, pada ruang dalam Homese
masih mempertahankan tempat api untuk menghangatkan ruangan dengan menambahkan
cerobong hingga ke lantai atas. Ini agar tercipta
sirkulasi udara yang sehat. Disamping suhu hangat dalam honai juga terjaga.Maklumlah, wilayah pegunungan tengah Papua
yang umumnya bersuhu rendah (dingin), telah mempengaruhi proses pembuatan honai
harus memperhatikan aspek kenyamanan. Sedangkan pada bagian lain Homese seperti
bentuk atap, masih tetap mempertahankan konsep awal. Bagian atap honai
berbentuk kubah (dome) itu kini menjadi ikon di mana-mana. Taman Mini Indonesia
(TMI) di Jakarta yang dibangun sejak jaman orde baru misalnya, dalam stand
Irian Jaya (Papua) juga menjadikan model honai sebagai ikon tersendiri.Konon, rancangan konstruksi pasar Papua 6
lantai yang akan dibangun khusus bagi seniman dan pedagang asli Papua di tengah
Kota jayapura juga mengadopsi bentuk atap honai. Padahal sejak awal honai hanya
dibangun pada suatu dusun atau perkampungan. Sangat mengesankan bila melihat
perkampungan di wilayah pedalaman Jayawijaya dari atas sebuah bukit. Disini
akan tampak rumah-rumah adat honai berdiri dengan halaman yang dikelilingi
pagar kayu berhias rerumputan kering.Honai memang memiliki nilai
filosofis yang mendalam. Sebab pada rumah tradisional inilah tempat generasi
awal masyarakat pegunungan tengah Papua dilahirkan dan dibesarkan. Honai juga
menjadi tempat belajar mengenai arti kehidupan dan hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam sekitar maupun dengan sang pencipta. Jadi tentu tidak ada
kata lain lagi, keunikan honai patut dijaga agar tidak cepat tergerus
perkembangan zaman.